19 November 2015

Posted by Vby Utami | File under :
Sumber: google.com
Laptop, kamera digital, smartphone, furnitur, bahkan motor sekalipun di zaman ini bukan lagi barang mewah. Semuanya bisa didapat dengan cara tunai ataupun kredit. Dengan uang muka yang terjangkau beserta persyaratan yang tidak lagi rumit, barang siap diantar ke rumah. Contohnya motor. Begitu banyak dealer motor yang bersaing harga memberi penawaran murah dan malah memberi cash back. Fenomena ini merupakan salah satu faktor tingginya pemakai kendaraan bermotor dan dampaknya terjadi kemacetan, dan parahnya lagi meningkat pula angka kecelakaan lalu lintas.

Terbukti selama kurun waktu 11 bulan terhitung sejak Januari – 22 November 2011 terdapat 1085 Kasus. Laka Lantas sebanyak 168 orang meninggal dunia akibat kecelakaan di jalan raya. 52% korban adalah generasi muda usia produktif 11 – 30 tahun dan sekitar 62.5 % kecelakaan mengakibatkan penderitaan dan kemiskinan baik bagi korban maupun keluarganya, serta 108% sekitar 1165 diantaranya adalah pengendara sepeda motor yang terlibat dalam kecelakaan Lalu lintas baik sebagai korban maupun sebagai tersangka. Sumber ini saya kutip dari portal resmi Polantas Makassar.

Ingatanku kembali pada tiga tahun silam, dimana saya masih menjadi mahasiswa baru di sebuah Politeknik Negeri di Makassar. Selama kuliah saya menumpang di rumah keluarga, yang tidak lain adalah kakak dari ibu saya. Setiap pagi dan malam, selalu terdengar omelan tanteku. Bukan ditujukan kepada saya, tetapi pada anaknya yang masih duduk dibangku kelas 1 SMP pada waktu itu. Dari hasil nguping, ternyata yang diributkan adalah motor! Nunul (nama sepupuku), merengek bahkan memaksa ibunya untuk membawa serta motor matic itu setiap akan ke sekolah. Padahal sekolahnya masih di dalam kompleks, jika jalan kaki hanya memakan waktu 5 menit. Tante saya yang juga seorang guru di sekolah itu menolak dengan lembut permintaan anaknya. “Sama-sama meki ke sekolah, supaya hemat bensin, lagian kamu itu tidak boleh diberi kebiasaan pakai motor, belum waktunya, nak!” kata tanteku dengan nada lemah. Yah, kata-kata itu masih melekat manis di telingaku sampai sekarang karena hampir tiap hari beliau mengumandangkan kalimat itu.

Tapi, namanya juga anak-anak. Selalu merasa bahwa dirinya telah tertantang. Tertantang oleh teman-temannya yang telah menggunakan sepeda motor ke sekolah. Diam-diam dia mengambil kunci motor dan segera menancap gas ketika ibunya masih berpakaian di kamar. Tanteku hanya menggelengkan kepala sesaat beliau tersadar kalau anak dan motornya telah lenyap di garasi. Ya, hanya menggeleng! Saya mencoba menerka-nerka raut wajah beliau. Mencoba menerjemahkan kekecewaan dan kekhawatiran terhadap anaknya. Mencoba memberi tanda bahwa beliau kurang tegas! Pikir maklumku hanya menemukan bahwa mungkin itu sebuah sikap memanjakan anak bungsu. Pertengkaran kecil itu terus berlanjut hingga saya memasuki tahun kedua kuliah.

Suatu hari, kulihat wajah Nunul berseri-seri sedangkan saya masih berpeluh akibat jalan kaki dari gerbang kompleks sepulang kuliah. Tanpa dijelaskan, saya mengerti dengan bahasa tubuhnya yang menunjukkan bahwa dia baru saja mendapatkan sebuah sepeda motor dari ibunya. Seketika saya termangu, bukan karena iri tapi khawatir kepada adik sepupu saya, kecewa terhadap tante saya, dan memikirkan hal-hal buruk lain yang akan menimpanya. “Bagaimana dengan SIM-nya?” tanyaku pada Nunul. “Tidak ada, karena saya tidak punya KTP.” Jawabnya. Jawaban yang kumaklumi namun bukan yang kuharapkan. Jelas saja dia belum mendapatkan KTP, toh umurnya belum 17 tahun. Edukasi tentang itu saja belum cukup, apalagi dengan rambu-rambu lalu lintas serta peraturan lainnya?

Sebulan menggunakan motor baru masih aman-aman saja karena masih dipakai dalam kompleks, disamping plat motornya belum ada, juga dia berusaha menunjukkan sikap baiknya kepada ibunya. Disela-sela waktu luang, saya berbincang-bincang dengan tanteku. Mungkin ini pertanyaan yang sedikit konyol menurut saya waktu itu. Yang masih terekam dalam ingatan kira-kira seperti berikut:
(dalam bahasa Makassar sehari-hari)
Saya : Kenapaki belikan Nunul motor?
Tante : Daripada setiap hari bertengkar gara-gara motor mending saya belikanki. Supaya bisa juga disuruh-suruh kalau ada keperluan.
Saya : Dengan cara dibelikanki motor die’?
Tante : Iya. Tidak mauka seperti Bu Ani (nama disamarkan), masa’ Andi (juga disamarkan) SMAmi masih na suruh naik pete-pete, jalan kaki, atau numpang sama temannya pergi-pulang sekolah? Kasianki kodong. Banyaknyaji lagi uangnya orang tuanya. Saya tidak tega, biar meninggalmi suamiku tapi tetapka’ kasih cukupki kebutuhannya anakku, apalagi sisa Nunul yang kubiayai.

Saya menarik nafas panjang. Andai saja Nunul itu adalah saya, maka saya anak paling beruntung mempunyai seorang ibu yang rela merogoh kocek hingga puluhan juta demi mencukupi kebutuhannya. “Kebutuhan? Bukankah itu hanyalah sebuah keinginan, tante,” gerutuku dalam hati.

Saya : Bagaimana kalau suatu hari Nunul ditilang?
Tante : Sudahmi janji sama saya, tidak mauji na pakai keluar kompleks sampai ada SIM-nya.
Saya : Sampai ada SIM-nya? Berarti masih lama. Mudah-mudahan bisaji na pegang janjinya. Tapi haruski awasi jangan sampai terpengaruh sama teman-temannya.
Tante : Iya, kau juga awasi adekmu. Kasih tauka’ kalau macam-macamki. Oh iya, suruh antar sampai gerbang nanti kalau mau pergi kampus, hemat uang becak.
Saya : Iye, tante.

“Mungkin inilah yang dimaksud “bisa disuruh-suruh kalau ada keperluan”, mengantar saya sampai gerbang kompleks,”pikirku.

Beberapa bulan telah berlalu, motor yang dulunya mulus dan lengkap kini “dicopot” satu-satu atau istilah kerennya “di-racing”. Bencana baru telah muncul, kini lebih parah. Nunul yang dulunya rajin ke sekolah, kini sering bolos entah kemana. Pulangnya pun selalu larut malam, sering balap-balapan dengan teman-temannya di dalam kompleks (kemungkinan besar di luar kompleks juga), sering terkena razia bahkan ditilang, tambah membangkang dan pandai membohongi “orang rumah”.

Suatu hari kejadian na’as menimpa adik sepupuku itu. Menurut pengakuannya, dia ditabrak dan pelakunya melarikan diri. Kejadiannya tidak jauh dari kediaman kami, tepatnya di KM 17 Jalan Poros Perintis Kemerdekaan. Wajahnya sangat ketakutan dan berusaha menahan sakit di sekujur tubuhnya. Karena takut, dia mengarang cerita dusta kepada ibunya, dan lagi ibunya percaya. Tapi saya tidak bisa dia tipu, setelah mengecek luka dan motornya. Seminggu tergeletak tidak berdaya di kamar lantas tak membuatnya jerah! Saya sudah tidak ingat berapa kali dia merepotkan kami keluar masuk kantor polisi dengan beberapa kasus berkaitan pelanggaran lalu lintas.

Kini, saya telah lulus kuliah. Selama tiga tahun menempa ilmu, menumpang di rumah keluarga tanpa fasilitas memadai dari orang tua, tapi saya mendapat pelajaran berharga tentang “fasilitas” itu sendiri. Tetap sabar walau saya harus berjalan kaki, naik-turun angkutan umum, kehujanan, kepanasan, namun doa orang tua yang memampukanku menjalaninya.

Dan Nunul, kini diapun menuai hasil. Kadang air mata saya menetes melihatnya karena walau bagaimanapun dia tetap adik sepupuku dan pernah tinggal serumah. Dalam setahun, sudah dua sekolah yang mengeluarkannya. Alasannya tetap sama, sering bolos dengan teman-temannya yang juga menggunakan sepeda motor ke sekolah. Soal motornya? Jangan ditanya, karena sudah lebih mirip barang rongsokan ketimbang motor racing. Ibunya? Ya, saya perihatin dengan tanteku yang sudah saya anggap sebagai ibu sendiri. Kini beliau sakit-sakitan memikirkan anak bungsunya. Setelah melihat kondisi Nunul yang tak bersekolah, beliau baru sadar ternyata hadiah yang diberikannya tiga tahun silam telah menghancurkan masa remaja anaknya.

Menyesal? Atau mau saling menyalahkan? Sudah terlambat!

Semoga Nunul segera mendapat hidayah dan sadar akan kelakuannya selama ini. Saya yakin, suatu saat nanti dia akan kembali ke sekolah untuk meraih cita-citanya, mengenakan seragam putih abu-abunya! Tingkah lakunya telah menunjukkan bahwa dia mengalami depresi, maka yang dibutuhkannya bukan lagi sepeda motor tapi kasih sayang dari keluarga.

Bagi orang tua yang ingin memberikan fasilitas lebih kepada anaknya, silahkan dipikir-pikir dulu secara matang, lihat sisi positif dan negatif dari fasilitas tersebut. Jangan sampai anak merasakan zona nyaman yang berlebihan dan akhirnya bertindak semena-mena. Masa depan memang berada di tangan kita masing-masing tapi orang tua juga berperan besar dalam mewujudkannya.

"Tulisan ini pernah diikutkan Lomba Polantas Makassar dan mendapatkan peringkat ke-5"

0 comments:

Post a Comment