26 April 2010

Posted by Vby Utami | File under :
Paradigma
Paradigma adalah persepsi, persepsi adalah cara pandang, kerangka pikiran, pendapat, atau keyakinan.

Jika diperhatikan secara seksama, sering kali paradigma kita keliru terhadap sesuatu. Paradigma terhadap Diri Sendiri, terhadap orang Lain, dan terhadap kehidupan.


Contoh kasus yang pernah saya alami sendiri :


Sepulang kuliah, saya berniat menemui teman-teman lama saya di tempat kami selalu bertemu.


Angkutan kota itu berhenti di halte, saya pun naik dan duduk dekat pintu berharap mendapat angin segar selama diperjalanan.


Tidak lama kemudian angkot tersebut berhenti, seorang pria berdasi dengan terburu-buru naik dan nyosor ke tempat dudukku.


“Akh. .kok maen nyosor aja sih. .?!”umpatku dalam hati.


Saya merasa gerah, apalagi jendela angkot itu tidak bisa terbuka.


Dalam hati saya tidak berhenti memaki.


“kan ga lucu, baru ketemu ma temen lama kok bau keringat? Saya kan bisa jadi bahan lelucon disana?”


Segala yang mengada-ada, menari-nari dalam otakku. Mungkin pengaruh panas yang membuat saya jadi emosional.


Tiba-tiba. .


Kkiiiiiiiiiikkkkkkkk……........!!! (suara rem mendadak)

Angkot itu hampir menambrak mobil truk yang ada di depannya. Para penumpang termasuk saya tersungkur ke depan.


Tak bisa saya bayangkan..


Kejadian itu hampir merenggut nyawa saya apabila saya tetap duduk di dekat pintu.


Saya kembali melihat pria berdasi itu.


“Bapak tidak apa-apa?” tanyaku.

“Ah. .ga apa-apa de’ cuma tangan saya yang agak sakit menahan badan,” jawabnya.

“Untung saja tadi adik bergeser,” lanjutnya.

“Emm. .iya ya! Makasih,pak!”


Kejadian itu menghentak saya.

Pria berdasi yang sedari tadi saya umpat kini bagaikan hero.
Saya betul-betul menyesal dan malu jika mengingat umpatan saya.

Paradigma saya benar-benar keliru, tidak tepat, dan terlalu cepat menarik kesimpulan.


Oleh karenanya, janganlah kita cepat-cepat menilai seseorang, mencap orang, atau membuat pandangan yang kaku tentang orang lain dari sudut pandang kita yang terbatas.


Saya baru saja mengalami “Pergeseran Paradigma terhadap Orang Lain”.


Lain halnya dengan Tentri, seorang rekan saya yang strees dengan kehidupannya.
Tentri merasa tidak ada gunanya ia hidup dengan keluarga yang Broken Home. Tidak ada lagi semangat dalam hidupnya. Nilainya di sekolah pun ikut anjlok. Katanya, Tentri yang dulu kini sudah tidak ada, sudah mati. Ah. .sungguh malang nasib cewek yang cukup popular di sekolah kami itu. Kami selalu mendekatinya, berharap kami bisa berteman seperti dulu dan bisa membantunya keluar dari masalahnya. Tapi tanggapannya selalu sama.

“Tidak ada yang bisa mengerti, tidak ada yang bisa membantu, tidak ada yang menyayangi saya lagi, saya hanya ingin mereka (orangtuanya) bersatu lagi!!”


Suatu hari, saya mencoba mendekatinya.
Suatu keajaiban, ia membalas senyumanku. Saya memulai pembicaraan yang ringan-ringan saja, takut ia “kumat” lagi. Lama kelamaan, ia mulai terbuka dan mulai bercerita tentang apa yang ia alami selama ini.

“Saya sudah mulai letih dengan semuanya! Sikap aroganku tak membuahkan hasil sama sekali. Bahkan kedua orang tuaku pun tak lagi memperdulikanku. Saya sangat malu karena tidak bisa menyelesaikan masalahku sendiri.” Tuturnya sambil menangis.

“Apa yang harus saya lakukan?”


Kali ini Tentri meminta saran kepadaku.

“Emm. .yang pertama dan yang paling penting, kamu harus mengubah cara pandang kamu terhadap diri kamu sendiri. Buang jauh-jauh label negatif yang selama ini kamu berikan terhadap hidupmu. Ciptakan paradigma positif yang dapat membuatmu bangkit kembali.” Saranku singkat, takut berkesan menggurui.


Itu terakhir kalinya saya berbicara dengan Tentri setelah kami dinyatakan lulus.


Beberapa bulan kemudian, Tentri mengirimkan sebuah tas cantik buatannya beserta sepucuk surat.


Dalam suratnya, Tentri berterima kasih karena berkat saran saya, ia mampu “Menggeser Paradigmanya” yang sempat menghancurkan hidupnya.
Dia juga bercerita tentang usahanya yang ia rintis sendiri karena ia berhasil memberikan label positif dalam dirinya. Hubungannya dengan orang tuanya yang telah berpisah pun cukup baik, ia mencoba mengambil hikmah dari masalahnya itu. Kini hidupnya semakin teratur dan tidak ada lagi kata putus asa baginya. Tentri kini memandang segalanya dengan cara.

Berbicara tentang Paradigma, saya selalu teringat dengan Buku The 7 Habits of Highly Effective Teens karya Sean Covey, salah satu buku favoritku.

Dalam karyanya, ia memaparkan “Paradigma tentang Dunia”.

Lebih dikhususkan yaitu “Pusat Kehidupan”.


Seperti apa??


Mari kita bahas dengan bantuan Paman Sean Covey!

Biasanya kita bisa tahu paradigma kita dengan bertanya kepada diri sendiri, seperti :


“Apa sih sumber inspirasi bagiku?”

“Apa saja yang mendominasi pikiranku?”

“Apa obsesiku?”


Apapun yang paling penting bagi kita akan menjadi paradigma atau pusat kehidupan kita.

Beberapa pusat kehidupan yang populer diangkat oleh Sean Covey yaitu terpusat pada Teman, Barang, Pacar, dan Diri Sendiri.


Terpusat pada Teman


Tak ada yang lebih baik selain menjadi anggota geng di sekolah. Pikirku dulu.
Teman itu penting tetapi tidak boleh menjadi pusat kehidupan kita.

Mengapa demikian?


Karena sewaktu-waktu mereka bisa saja berubah, sesekali tidak tulus, terkadang memfitnah, atau mungkin saja ia pindah. Itu akan membuat kita sedih.


Jika kita mendasarkan identitas kita pada apakah kita punya banyak teman, apakah kita diterima dalam pergaulan, atau apakah kita popular, bisa-bisa kita tidak menjadi diri sendiri dan selalu menyesuaikan diri demi teman-teman kita.
Percaya atau tidak, suatu saat nanti teman-teman kita bukanlah hal terpenting lagi dalam hidup kita. Saya sendiri pernah mengalaminya ketika masih duduk dibangku SMA.

Apapun saya lakukan demi mereka karena saya tidak ingin dicap sebagai teman yang tidak setia kawan.
Segalanya kami lakukan secara bersama-sama. Menerobos lampu merah saat jalan-jalan menggunakan sepeda motor. Mencoret-coret tembok sekolah yang jelas-jelas melanggar tata tertib sekolah. Bahkan tidak mengikuti jam pelajaran sekolah. Prinsip kami waktu itu, yang penting happy dan nikmati aja selagi masih muda. Saya sangat bergantung pada teman-teman saya. Saya berpikir, merekalah sahabat sejati saya selama-lamanya.

Tetapi pada kenyataannya setelah kami lulus dan beberapa teman pindah, saya heran betapa jarangnya kami bertemu lagi.


Tempat tinggal yang saling berjauhan, teman-teman baru, lingkungan baru, pekerjaan baru, menghabiskan waktu kami.


Ketika masih SMA, saya tak mungkin memahami hal ini.


”Perbanyaklah sahabatmu, tetapi janganlah bangun hidupmu di atasnya. Karena itu landasan yang tidak stabil.”


Terpusat pada Barang


Tanpa disadari kita sering memandang seseorang dengan apa yang ia miliki (harta benda), prestasinya, jabatannya, gelarnya, keturunannya siapa, anaknya siapa, dan lain sebagainya yang bersifat materiil.


Ya. .kita memang hidup di dunia materiil yang mengajarkan bahwa “ Siapa yang mati dengan harta yang paling banyak, dialah pemenangnya!”


Berprestasi atau menikmati barang-barang yang kita miliki memang tidak ada salahnya, tetapi kita tidak boleh memusatkan hidup kita pada barang-barang tersebut, karena itu tidak akan abadi.


Kepercayaan diri hendaknya berasal dari dalam diri, bukan dari luar, dari kualitas hati, bukan kuantitas barang-barang yang kita miliki.


“kan yang mati dengan harta yang paling banyak, tetap saja mati. .”


Saya pernah kenal dengan seorang cowok yang memilki koleksi mahal. Ia mengoleksi mobil-mobil import, ia anak salah seorang pengusaha sukses. Dan setiap kali bertemu dengannya, mobilnya pasti lain lagi.


Setelah mengenalnya lebih dekat, saya mulai memperhatikan bahwa kepercayaan dirinya banyak bergantung pada mobil dan harta yang ia miliki. Setiap kali berkumpul dengan teman-temannya, yang ia bahas hanyalah seputar apa yang mobilnya miliki.


Entah itu dari speakernya yang baru, jok yang baru, atau tambahan aksesories mobilnya yang baru.
Ia pun sering membandingkan mobilnya dengan mobil teman-temannya yang jelas-jelas tidak sekeren mobilnya. Namun, jika ada yang menyainginya, ia tidak segan-segan merengek kepada Ayahnya. Hal itu sungguh membuat saya muak. Ia benar-benar terpusat pada barang-barangnya. Saya pernah mendengar suatu ungkapan : “Kalau siapa saya adalah tergantung pada apa yang saya miliki, dan apa yang saya miliki itu sudah hilang, lalu. . siapa saya ini?”

Terpusat pada Pacar


Perangkap ini sangat sering memakan korban. Maksud saya, siapa sih yang tidak pernah terpusat pada pacarnya?


Ironisnya, semakin kita memusatkan hidup pada seseorang, semakin kita jadi tidak menarik bagi orang itu.


Kok bisa?


Ya. .pertama-tama, kalau kita terpusat pasa seseorang, kita tidak lagi sulit didapat. Kedua, menyebalkan tidak kalau seseorang menggantungkan seluruh kehidupan emosionalnya pada kita? Karena menurutnya, ketentraman hidupnya berasal dari kita bukan dari dalam dirinya sendiri.


Lain halnya dengan Tommy yang sangat mengagumi pasangannya, Cechyl.


Ketika Tommy mengajak Cechyl ngedate, Cechyl malah menolak dengan alasan ia masih punya banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan secepatnya. Bukannya Tommy marah karena segala sesuatunya telah ia siapkan, tetapi ia menjadi sangat bangga karena Cechyl ternyata wanita mandiri dan punya kekuatan sendiri. Suasana hatinya tidaklah tergantung pada suasana hati Tommy.


Kita bisa tahu kalau ada pasangan yang menjadi saling terpusat kepada satu sama lain, setelah putus pasti rujuk lagi. Walaupun hubungan mereka sudah jelas memburuk, kehidupan emosional serta identitas mereka begitu terpaut sehingga mereka takkan pernah dapat melepaskan satu sama lain.


Percayalah, kita akan menjadi pasangan yang lebih baik jika kita tidak terpusat pada pasangan kita.


Kemandirian itu lebih baik dari pada ketergantungan. Lagipula, memusatkan hidup pada orang lain bukanlah menunjukkan kita mengasihinya, melainkan tergantung kepadanya.


Punya banyak pacar bisa aja (oups. .!!), tapi jangan sekali-kali terobsesi atau terpusat padanya, walaupun ada pengecualiannya karena hubungan-hubungan demikian tidaklah stabil.


Terpusat pada Diri Sendiri


Satu lagi pusat yang paling umum adalah terpusat pada diri sendiri, atau menganggap dunia berputar di sekeliling kita dan masalah-masalah kita.


Ini sering kali mengakibatkan kita begitu mengkhawatirkan kondisi kita sehingga lupa dengan orang-orang yang bermasalah di sekeliling kita.


Seperti yang kita bahas sebelumnya dan masih banyak lagi pusat kehidupan lainnya, semuanya tidak memberikan kestabilan yang kita butuhkan dalam hidup kita. Bukan berarti kita tidak berupaya meraih kesempurnaan dalam sesuatu, tetapi ada garis tipis antara bersemangat akan sesuatu, dengan mendasarkan seluruh keberadaan kita pada sesuatu itu. Dan hendaknya kita tidak melewati garis itu.


Yang sejati, Yang Terpusat pada Prinsip


Kita pasti sudah tahu dampak gravitasi bumi. Jika melemparkan suatu benda ke atas, pasti akan jatuh. Itu adalah hukum atau prinsip alam. Sama seperti halnya ada prinsip-prinsip yang mengatur dunia fisik, ada juga mengatur dunia manusia. Prinsip-prinsip itu tidak memihak pada siapa. Tidak pada Amerika ataupun Irak. Prinsip-prinsip bukan milik saya pribadi atau milikmu. Prinsip-prinsip bukanlah untuk didiskusikan. Prinsip-prinsip ini berlaku bagi semua orang, yang kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan, petani, buruh, pengusaha, ataupun nelayan. Prinsip-prinsip tidak diperjualbelikan. Kalau kita hidup sesuai dengan prinsip, kita akan meraih kesempurnaan, jika dilanggar, akan gagal. Cukup sederhana.


Sebagai contoh: Kejujuran itu prinsip, kerja keras itu prinsip, hormat, rasa syukur, adil, integritas, loyalitas, dan tanggungjawab adalah prinsip.


Prinsip tidak pernah gagal


Hidup menurut prinsip membutuhkan iman, terutama kalau kita melihat orang terdekat kita maju dengan berbohong, menipu, memanipulasi, dan hanya mementingkan diri sendiri. Tetapi yang tidak kita lihat adalah bahwa melanggar prinsip pasti mengejar mereka pada akhirnya.


Umpamanya prinsip kejujuran. Kalau kita pembohong besar, kita mungkin lolos untuk sementara waktu bahkan bertahun-tahun. Tetapi sulit kan menemukan pembohong yang mencapai sukses dalam jangka panjang?


Tidak seperti semua pusat yang telah kita bahas, prinsip-prinsip takkan pernah mengecewakan kita. Prinsip-prinsip tidak akan membicarakan kita di belakang. Prinsip-prinsip takkan pernah pindah. Hidup yang terpusat pada prinsip adalah landasan yang paling stabil, yang takkan tergoyahkan, yang bisa kita andalkan untuk membangun kehidupan di atasnya, dan kita semua membutuhkannya.


Untuk memahami mengapa prinsip-prinsip itu selalu efektif, coba bayangkan kita menjalani hidup yang didasarkan pada kebalikannya. Hidup dengan penuh kebohongan, bersenang-senang, buang-buang waktu, mementingkan diri sendiri, tidak hormat, dan tidak tahu bersyukur.


Mendahulukan prinsip-prinsip adalah kunci untuk lebih sukses dalam hal lainnya. Kalau kita amalkan prinsip-prinsip kejujuran, sikap hormat, penuh kasih sayang, loyalitas, dan tanggungjawab, misalnya, kita akan mendapatkan banyak teman atau bahkan pacar yang lebih stabil. Mendahulukan prinsip-prinsip juga merupakan kunci menjadi orang yang mempunyai karakter.


Putuskanlah hari ini untuk menjadikan prinsip-prinsip sebagai pusat hidup kita atau paradigma kita. Dalam situasi apapun kita berada, tanyakan, “Prinsip apa ya yang berlaku dalam hal ini?”


Untuk setiap masalah, marilah mencari prinsip yang akan menyelesaikannya.

0 comments:

Post a Comment